SBMPTN, Perlu Diubahkah ?

           Beberapa hari yang lalu atau tepatnya17 Juni 2014, Universitas-universitas di Indonesia akan mendapatkan daftar nama keluarga baru mereka. Ya, tidak lain tidak bukan mengenai SNMPTN dan SBMPTN. Memang saya selaku penulis masih duduk di kelas XI atau kelas 2 SMA, satu tahun lagi untuk bisa merasakan kedahsyatan dua hal tersebut. Tapi, entah karena terpengaruh atau bagaimana saya juga ikut merasakan khawatir tentang kelolosan SBMPTN bagi kakak-kakak kelas XII.

source : google.co.id
         Sebelum jauh membahas SNMPTN dan SBMPTN saya akan menjelaskan secara gampangnya apa itu SNMPTN dan SBMPTN. SNMPTN merupakan singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional, dimana biasanya para siswa kelas 3 SMA menyebutnya dengan jalur undangan. Kenapa jalur undangan? tentu saja karena mereka hanya mendaftar dan memenuhi segala persyaratan dan menunggu hasilnya. Sekitar tanggal 25/27 Mei 2014 (maaf saya lupa tepatnya). Siswa-siswi kelas 3 SMA mendapatkan pengumuman tentang hasil lolos SNMPTN, dimana mereka akan mendapatkan free-pass untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Inilah mengapa SNMPTN juga lebih dikenal dengan jalur undangan, karena kasarannya, para siswa seperti diberi undangan untuk masuk ke dalam universitas tersebut tanpa mengikuti tes apapun. Kebanyakan orang menganggap jalur ini merupakan jalur undian, karena faktor keberuntungan sangat berpengaruh besar disini. Ambil contoh kakak kelas saya, si X merupakan siswa yang berprestasi, mempunyai banyak sertifikat, dan banyak pengalaman dalam berorganisasi. Sementarasi Y merupakan siswa yang notabenenya biasa-biasa saja, dan tidak banyak memiliki pengalaman dalam berorganisasi. Dalam mengikuti seleksi SNMPTN ternyata yang lulus si Y, pada kenyataannya si X dan si Y mendaftar pada perguruan tinggi dan fakultas yang sama.
      Selain faktor keberuntungan, faktor PG setiap sekolah juga mempengaruhi. Biasanya, sekolah dengan PG besar di Universitas tersebut, akan mendampatkan peluang yang lebih besar. PG sendiri berasal dari Passing Grade yang merupakan acuan universitas untuk pertimbangan jalur SNMPTN. Banyak faktor lain yang mempengaruhi jalur SNMPTN ini, akan tetapi dua faktor di atas menurut saya adalah faktor yang sangat berpengaruh.

       Beralih ke SBMPTN. SBMPTN sendiri memiliki kepanjangan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional. Biasanya siswa yang tidak lolos SNMPTN akan mengikuti SBMPTN di universitas yang sama ataupun berbeda. Berbeda dengan SNMPTN, siswa yang mengikuti tes ini harus kembali membuka buku dan belajar lagi agar bisa masuk ke universitas yang mereka inginkan. Mulai dari TPA (tes potensi akademik), Matematika dasar, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran sesuai dengan jurusan masing-masing. Biasanya siswa yang mengambil jurusan IPA di SMAnya akan mengerjakan soal SAINTEK (Sains dan Teknologi) dan jurusan IPS mengerjakan soal SOSHUM (Sosial Humaniora). Ada juga yang mengambil jatah IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) dimana siswa ini biasanya memilih jurusan di IPA dan IPS, otomatis juga kerja ganda dalam SBMPTN.
source : google.co.id


       Bukan bermaksud untuk mengkritik atau membandingkan, menurut saya sebagai penulis mengatakan bahwa di Indonesia mayoritas pendidikan itu hanya memperhatikan potensi akademiknya. dan kurang untuk memperhatikan dari segi kepribadian maupun segi non-akademik. 10 teman saya pernah mengikuti seleksi UWC (United World College) dimana setiap negara hanya akan diambil 3 siswa pertahunnya dan akan di sekolahkan di UWC school yang ada di beberapa negara di Eropa dan Amerika. Ketika saya bertanya pada mereka mengenai tes tersebut, pada kenyataannya mereka tidak banyak melakukan tes tulis atau tes akademik. Hal yang mendominasi yang mereka lakukan adalah kegiatan sosial. Mulai dari tes interview, tes psikologi, dan tes lingkungan sosial seperti ke panti asuhan anak dengan keterbelakangan mental.Bisa dilihat bahwa sekolah inipun tidak hanya mengandalkan nilai akademiknya saja, tetapi hasilnya bahkan lebih baik dari sekolah-sekolah di Indonesia yang mengandalkan nilai akademik dari siswanya. Sebagai bukti, banyak siswa di Indonesia yang sekolah di luar negeri berhasil mendapatkan cum laude dengan IP minimal 3,9. Lalu, mengapa di negara sendiri hal tersebut sangat sulit untuk didapatkan?

    Adakah yang salah dari sistemnya? atau dari sumber dayanya? hanya pendapat anda pribadi yag bisa menentukan. Tetapi, menurut uneg-uneg saya, hal yang salah disini adalah tekanan, tekanan dari siswa karena banyaknya kegiatan, tugas yang seambrek, tekanan dari dosen, dan masih banyak lagi. Haruskah ini dibiarkan atau perlu dibenahi? tergantung pada pemimpin bangsa selanjutnya.

Salam Merdeka
Salam Indonesia Bisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar