Sudut Pandang Orang Kedua

   Mendengar kata Indonesia tentunya setiap orang sudah memiliki sudut pandan yang berbeda. Mulai dari sisi baiknya,  sisi buruknya, kelebihannya, kekurangannya, pemimpinnya, rakyatnya, bencananya, dan banyak lagi. Beberapa hari yang lalu saya mencoba menjelajah di google, tentang Indonesia. Dengan kata kunci "Faktanya Indonesia" dan "Yang cuma ada di Indonesia", saya bisa menemukan baik buruknya Indonesia di pandangan masyarakatnya ataupun di kancah Internasional.

   Ada satu fakta yang membuat saya memikirkannya dalam-dalam. Jujur ini fakta yang kurang baik, tapi memang benar.
  "Faktanya, hanya di Indonesia guru Bahasa Indonesia dari Sabang sampai Merauke punya jawaban yang berbeda-beda"

    Ya, hal itu yang membuat saya sedikit berfikir lebih dalam tentang Indonesia. Memang benar adanya kalau setiap guru bahasa Indonesia memiliki pandangan yang berbeda tentang pelajaran itu sendiri. Selama 11 tahun saya belajar, memang pelajaran bahasa Indonesia ini yang menurut saya butuh pemahaman yang lebih.

  Salah satu contohnya adalah mengenai sudut pandang. Di SD saya diajari bahwa sudut pandang orang ada 3, sudut pandang orang pertama, sudut pandanng orang kedua, dan sudut pandang orang ketiga. Akan tetapi, saya dan teman-teman saya tidak diajarkan tentang sudut pandang orang kedua lebih dalam. Menginjak bangku SMP, ternyata sudut pandang berkembang biak dan ada yang hilang. Ada sudut pandang orang pertama pelaku utama, orang pertama pelaku sampingan, orang ketiga pelaku utama, orang ketiga serba tahu. Akan tetapi, disini sudut pandang orang kedua dihapuskan, maksud saya, menurut guru saya sudut pandang orang kedua ini tidak ada. Sebagai siswa yang nurut-nurut saja waktu itu, ya saya ikut apa kata guru saya.

  Menginjak bangku SMA, ternyata sudut pandang orang kedua ini muncul lagi. Dan sudut pandang ini merupakan salah satu tugas saya di akhir semester kelas XI, bisa dibaca disini.

  Nah, saya akan mengulas sudut pandang orang kedua. Seperti yang kita tahu kalau sudut pandang orang pertama menggunakan kata ganti aku, saya, ataupun kita. Contoh "Aku memandangi setiap jengkal dari rumah lusuh itu, kuamati dan sesekali mataku menjelajah mencari-cari apa yang berbeda.......". Sedangkan sudut pandang orang ketiga biasanya mengunakan dia, ia, mereka, atau kata ganti orang. Contoh "Dia menyandarkan tubuhnya di pohon besar yang sudah kering daunnya. Hatinya mulai gelisah, ketika tumpukkan tekanan batin mulai mnejamur pada dirinya.....". Bagaimana dengan sudut pandang orang kedua?

   Sudut pandang ini menggunakan kata ganti kamu, kalian, ataupun anda. Tidak dibenarkan ada kata aku, kita, saya, mereka, dia, sebut nama, ataupun yang lainnya. Memang sedikit ganjal ketika kita membaca cerpen atau novel yang menggunakan sudut pandang orang kedua ini. Alasannya mudah, ketika kita bicara dengan menggunakan kata ganti kamu, biasanya kita berbicara dengan orang yang berada dekat dengan kita. Nah, kalau seumpama kita bicara panjang lebar dengan menggunakan kata kamu, boleh jadi percakapan ataupun jalan ceritanya sedikit membingungkan dan banyak menimbulkan konflik. Untuk apa kita bercerita kepada seseorang tentang kegiatang orang itu sendiri? contohnya "Kamu duduk di pelataran rumah, sambil air mata itu terus mengalir membasahi pipimu" nampak bahwa kita menceritakan kembali kegiatan yang dilakukan oleh orang itu kepada orang itu sendiri. Apa orang ini amnesia? atau pingsan? banyak yang akan bertanya seperti itu. Dan hal ini yang menurut saya sudut pandang orang kedua tidak diajarkan ditingkat SD maupun SMP. Toh, di Indonesia buku yang menggunakan sudut pandang orang kedua hanya ada 3 buku saja, itupun yang satu sudut pandangnya campuran.

   Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi dan mendalaminya. Saya juga masih belajar, ini semua yang ada di uneg-uneg saya. Butuh dikembangkan lagi. Terima kasih

Salam Merdeka
Salam Indonesia Bisa

Abu-Abu


Suara adzan subuh membangunkanmu. Membuatmu harus membuka mata dan segera beranjak dari kasur tidurmu. Kamu buka pintu kamar itu, dan bergegas kamu mengambil air untuk menyucikan dirimu. Tampak dua orang telah menunggumu di ruang tamumu. Umi dan abi, begitu biasa kamu memanggil dua orang itu. Kamu datangi kedua orang itu dan bersama kamu, umi, dan abimu berangkat menuju surau kecil yang ada di ujung desa tempat kamu tinggal. Seperti biasa, 30 menit kemudian kamu telah kembali dalam rumah mungilmu sebagai tanda kamu telah melaksanakan sholat subuh berjama’ah di suaru itu. Kini kamu telah duduk di bangku kelas 3 Madrasah Aliyah, sudah saatnya kamu untuk memikirkan kelanjutan pendidikanmu.

Nglanjutin di mana ?”, “Sudah dapat sekolah ?”, “Nerusin di mana ?”.

Itu adalah beberapa pertanyaan yang sering kamu dengar akhir-akhir ini. Hal yang membuatmu semakin bosan dengan yang namanya sekolah. Memang, kamu adalah tipe orang yang tidak suka urusanmu diikutcampuri oleh banyak orang. Tapi inilah kampung, masalah pribadi bisa jadi masalah bersama, urusan perseorangan bisa jadi urusan satu desa. 

“Bagaimana ? Kamu sudah punya gambaran untuk kuliah ?”, tanya abimu padamu.
“Belum, Bi”, jawabmu singkat, tapi memberikan banyak makna.

Berhenti dari jawaban itu, semua terdiam termasuk kamu. Adanya rasa bimbang, bingung, marah, kecewa, sedih masih tersirat di setiap wajah orang yang duduk di ruang tamu itu. Kamu merasa bahwa orang-orang itu menginginkan jawaban yang lebih dari apa yang telah kamu berikan. Kata “belum” masih belum cukup bagi orang-orang itu. Tapi, berbeda denganmu, yang terpaksa harus masuk dalam situasi rumit ini, mengharuskanmu untuk memutuskan sebuah kehendak yang harusnya kamu bisa memutuskan sendiri.

“Kamu tidak bisa terus menjawab “belum”. Sebulan lagi abang-abangmu sudah kembali ke tempat kerja, abang-abangmu hanya bisa bantu kamu sekitar 2-3 minggu saja” , kata abang sulungmu.
“Agaknya kamu tidak sesulit abang-abangmu untuk melanjutkan sekolah”, abang keduamu menimpali.

Sejenak suasana ruangan kembali hening. Kamu masih tetap pada posisimu tanpa menatap orang-orang yang ada di ruangan itu. Terlihat getir wajah takut pada raut mukamu, meski sebenarnya kamu bisa menutupi hal itu. “Braakkk”. Suara gepukkan meja itu memecah keheningan di setiap sudut ruang tamu.

“Kamu mau diam sampai kapan? Semua yang disini tidak hanya mengurusi kamu, masih banyak urusan lain yang perlu dilakukan”, Abimu berbicara dengan nada tinggi seraya menunjukkan kemarahannya yang sudah tidak bisa dibendung lagi. “Belajar dari abang-abangmu!”, Terlihat jelas abimu sangat emosi atas sikap diammu. Sedari tadi umimu hanya diam dan tak berani bicara apa-apa. Wanita paruh baya itu, sesegara mungkin memelukmu sebelum apa-apa terjadi padamu.

“Beri waktu berfikir, kamu pasti punya pilihan”, terlihat umimu berusaha melindungimu.
“Mau berfikir sampai kapan? Masya Allah, ini anak sulit sekali untuk dibilangi”, nada abimu semakin tinggi dan tangannya sudah melayang.

Kamu hanya terdiam, benar-benar diam dalam dudukmu. Tertangkap jelas kamu akan menerima tamparan abimu itu. Kamu masih seperti batu, abang-abangmu hanya terdiam dan sentak kaget dengan apa yang dilakukan abimu, umimu menangis sejadi-jadinya, terlihat dia mendekapmu, berusaha untuk melindungimu dari tangan abimu.

***

Brukkk. Buku setebal 386 halaman itu terjatuh. Kamu terbangun dalam kebingungan. Masih mencoba memandangi sekitar dengan keringat masih mengucur deras di setiap bagian tubuhmu. Bahkan, kamu melupakan kondisi buku medan kuantum yang terjatuh karena mimpimu tersebut. 

“Masih dengan hal yang sama”, gumammu dalam hati.

02.30, suara detakan jarum detik masih terdengar keras. Alunan jangkrik dari luar rumah masih memberikan nada datar yang sama ketika pertama kali didengar. Kamu masih mencoba untuk mencari jiwamu, kembali menafsirkan setiap hal yang baru saja kamu alami.

“Bukan salahmu jika mengambil keputusan ini. Kamu hanya ingin mengikuti keinginanmu, kamu bukan orang-orang yang freak pada kekangan agama ataupun sebuah kepercayaan”, terdengar jelas hatimu berbicara pada dirimu. Kau coba paksa dirimu untuk menikmati kembali tidurmu, berharap apa yang barusan terjadi benar-benar mimpi. 4 jam sudah waktu berlalu, masih tetap sama jarum detik selalu meninggalkan jarum menit, jarum menit meninggalkan jarum jam, dan jarum jam masih tetap menjadi patokan bagi setiap orang. Kamu masih dalam posisi yang sama dengan kegagalan untuk tidur kembali semenjak kamu bangun dari tidur empat jam yang lalu. Percuma untuk menyesali, segera kamu beranjak dan pergi dari kamarmu dan meninggalkan bekas-bekas makanan dan buku-buku yang berantakan.

Hanya dengan membasuh mukamu dan sedikit merapikan rambutmu, kamu berjalan keluar dari rumah kontrakan minimalis 4 x 5 meter itu. Kembali kamu melakukan rutinitas yang sudah kamu pilih dari 1,5 tahun yang lalu. Menjadi bagian dari fakultas ilmu kimia sudah jadi makanan sehari-hari. Bergelut dengan asam, basa, molekul, atom, dan reaksi adalah suatu hal yang lumrah untuk diterima. Tapi, tidak untuk satu sub-kuliah yang mungkin banyak orang hindari, masih sama dengan segala tetek-bengeknya kimia yang memutar balikkan larutan ataupun sejenisnya. Tapi disinilah teori-teori agama mulai disinggung, dipertanyakan, bahkan mulai diperdebatkan. Kimia kuantum, mendalami kimia dari sudut pandang yang berbeda, memahami sebuah larutan tidak hanya antara dua substansi melainkan larutan itu adalah suatu propaganda kecil dalam setiap molekulnya, masalahnya terletak pada larutan itu sendiri, bahkan akan tampak sulit untuk mengkalibrasi kembali larutan yang dimaksud dalam kimia kuantum itu sendiri.

kamu nampak selalu hadir dalam setiap pembelajaran kuantum ini. Menganggap hal yang kurang rasional bagi seseorang menjadi hal yang bisa dijadikan sebagai bahan senang-senang. Ketika kamu merasa bahwa disinilah kamu akan mendapatkan jawaban akan mukjizat Tuhan yang selalu abimu agung-agungkan.

“Seharusnya abimu tahu akan hal ini. Kamu masih menghargai apa yang abimu hargai, kamu masih mencoba untuk memahami dengan apa yang abimu pahami, dan kamu masih melakukan apa-apa yang telah abimu ajarkan padamu”, lagi-lagi suara hatimu berbicara ketika kamu mengikuti sub-kuliah prioritasmu itu. Kamu masih mencari relevan antara sub-kuliahmu dengan ucapan Abimu, terkadang kamu mendapatkan relasi yang tepat tapi terkadang kamu malah mendapatkan hasil yang berbalik atau negatif dihasil akhirnya. Kamu dapati bahwa setiap harinya kamu memikirkan hal yang sama, memikirkan tentang apa yang saat ini memiliki arti yang berbeda dengan apa yang dipikirkan abimu.

“Jangan pernah untuk menyambungkan antara sub-kuliah ini dengan relevansi agama”, kata dosenmu yang membuyarkaan lamunanmu.

“Kenapa?”, kata itu yang masih berputar di pikiranmu, membuatmu kembali melamun untuk beberap menit. Seketika kamu berfikir apa yang dikatakan oleh Abimu, kamu kembali merangkai kisah-kisahmu dari awal kamu yang hanya bisa menangis hingga kamu yang sekarang duduk melamun dalam sub-kuliah prioritasmu. Ketika kamu menyadari bahwa apa-apa yang dikatakan abimu sepatutnya benar. Belum sempat berfikir terlalu jauh, jam kuliahmu telah habis, membiarkanmu untuk meninggalkan ruang pengap itu dan sesegera mungkin untuk menuju ke rumah kontrakanmu.

Dalam langkahmu kamu masih memutar dan memeras otakmu untuk mencari relasi itu, antara kepercayaanmu dan keilmuanmu. Belum sempat kamu mendapatkan jawaban, kakimu telah sampai di kasur pribadimu, membiarkanmu untuk berbaring pada kenikmatannya. Terbaring sudah kamu dan mencoba untuk mengistirahatkan tubuh dari kegiatan yang banyak menguras waktu. Selang beberapa detik kamu memejamkan mata, sekelebat kisah dan masa lalumu kembali datang dalam pikiranmu. Ini membuatmu memutarbalikkan kisah yang seharusnya sudah kamu lupakan. Kamu menghela nafas, membiarkan segalanya berlalu dan kamu akan segera beristirahat lagi. Berbeda dngan pikiranmu, yang memaksamu untuk menguak apa yang sekarang masih tersendat pada otakmu. Kamu segera bangkit, mengikuti apa yang pikiranmu mau, mengerjakan apa yang otakmu perintah. Serasa percuma ketika kamu mengistirahatkan tubuhmu, tetapi otak dan pikiranmu masih bekerja.

“Apa yang dikatakan abimu benar, apa yang dikatakan dosenmu juga benar.. Hitam dan putih sudah menjadi sebuah pilihan. Tapi, apa alasan masih adanya konflik-konflik ini? Menyebabkan adanya sebuah perbedaan yang menonjol satu sama lain, adakah hal yang masih  kamu  lupakan. Tapi apa? Tidak ada yang bisa memberitahumu, tidak juga abimu dan dosenmu. Seharusnya masih ada jalan lain yang semestinya setiap orang tahu, tapi nyatanya tidak. Masih banyak buku yang harus kamu baca, butuh banyak perpustakaan untuk kamu masuki, dan masih banyak webiste yang harus kamu korek untuk mendapatkan apa yang akan kamu cari. Mencari dan berfikir sudah kamu lakukan, tapi apa yang kamu dapat? Masih nihil, butuh berapa lama lagi?”, hatimu mulai berfikir lagi, perasaan menyerah dan penasaran masih bermain-main di pikiranmu.

Lagi-lagi, kamu harus memilih di antara dua pilihan, yang seharusnya anak SDpun bisa untuk memilihnya, tetapi tidak denganmu. Kamu benci, benci pada dirimu sendiri. Kamu, orang yang selalu mempertimbangkan pikiranmu dalam segala hal, yang terkadang membuatmu muak sendiri dengan apa yang kamu miliki. Sejenak hal lain melintas pada pikiranmu, seseorang yang menurutmu mampu membantumu untuk menemukan jawaban akan berjuta pertanyaan tentang kepercayaanmu. Bukan, bukan saudaramu, bahkan tidak ada satu tetes darahpun dari dirinya yang mengalir pada tubuhmu. Kembali kamu mengingat, akankah kamu datang pada orang itu, hal itu akan membuat kembali pada masa lalumu. Kembali mengingatkanmu pada kejadian 1,5 tahun yang lalu.

Kembali kamu membenci dirimu sendiri pada masalah ini, memilih antara datang dan tidak. Terkadang kamu bertanya pada dirimu sendiri, apa alasan hidup penuh dengan pilihan, adakah ini akan mempermudah hidup? Atau hanya mempersulit? Waktu akan habis ketika kamu hanya berfikir untuk memilih sebuah pilihan, datang itu yang akan kamu pilih. Segera kamu membawa tasmu dan segera meninggalkan rumah kontrakanmu. Buku, kaos, makanan, uang seadanya, juga buku dinamika kuantummu ada pada satu tas itu.

Masihkah kamu mengingat jalan itu ? 1,5 tahun mungkin bisa membuatmu lupa dengan materi kuliahmu, tapi tidak dengan ingatan cerita hidupmu, setidaknya untuk sebuah kisah kecil tentang masa lalumu. Kamu tiba, tiba pada jalan setapak yang mengantarkan perpisahan yang tidak pernah kamu inginkan, atau lebih tepatnya kamu sesali untuk memilih pilihan tersebut. Itu yang membuatmu benci pada dirimu. Sampai sudah kamu kembali pada kampung halanganmu, mengingatkanmu kembali pada masa lalumu yang terkadang membuatmu pikiranmu berputar dan ruwet seperti halnya lukisan bocah 2 tahun.

“Assalamualaikum”, ketukmu pada sebuah rumah.
“Waalaikumsalam”, tampak seseorang dengan sarung kotak-kotak dan kaos oblong putih membuka pintu, terlukis raut wajah bingung dan takut pada lelaki paruh baya itu ketika melihat orang yang mengetuk pintu rumah.
“Boleh masuk, pak?”, tanyamu seraya membuyarkan lamunan orang itu.
“Iya, mari-mari”, sedikit rasa gelisah ada pada raut wajah orang itu.
“Mau minum apa?”, tanya orang yang biasa dipanggil Pak Ustadz itu.
Ndak usah, Pak”, kamu memang pandai dalam menutup-nutupi sesuatu, termasuk menutupi kebohongan akan kehausanmu.
“Ada apa, nak?”, tanya orang itu serasa menenangkan diri.
“Mau tanya sesuatu, boleh Pak Ustadz ?”, tanyamu dengan nada sopan.
“Boleh, tanya apa?”, jawab orang itu bimbang.
“Apakah Tuhan, mukjizat, agama, dan segala hal yang bersangkutan bisa dibuktikan secara ilmiah, dibuktikan dengan menggunakan pemikiran dan otak manusia?”, tanyamu pada ustadz itu.
“Otak dan pikiran manusia tidak bisa melampaui kebesaran Tuhan”, jawab orang itu singkat.
“Lalu, bagaimana orang-orang percaya?”, tanyamu mempertegas.
“Semua sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an, nak”, tampak raut wajah ustadz itu mulai kebingungan.
“Orang-orang itu hanya mempercayai sebuah tulisan? ”, tanyamu lebih jelas.
“Maksudmu nak?”, tanya ustadz itu mencoba untuk memahami.
“Apakah Tuhan, mukjizat, agama, dan segala pengikutnya itu hanya bisa dibaca dan diikuti? Tanpa harus diketahui keberadaan dan kebenarannya? Lalu, apa fungsi utama belajar agama selama ini Pak ?”, tanyamu dengan nada sedikit keras.
“Apa kamu tidak percaya dengan Tuhan? Apa kamu Atheis?”, tanya ustadz itu balik padamu.
“Tidak, Pak. Percaya dengan Tuhan dan mukjizat iya, tapi keraguan masih ada dengan agama dan umat”, jawabmu sedikit mereda.
“Jawaban yang kamu minta ada pada pertanyaanmu sendiri”, jawab lelaki tua itu dan segera bangkit dari sofa ruang tamunya.
“Oh, terimakasih, Pak”, masih banyak perntayaan yang mungkin akan kamu utarakan, tapi kamu merasakan situasi yang tidak memungkinkan. “Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam”, jawabnya degan menutup pintu.

“Jawaban yang kamu minta ada pada pertanyaanmu sendiri”, kamu masih memikirkan ini. Hanya itukah? Hanya itu yang kamu cari selama ini. Kembali kamu memeras dan memutar otakku. Kamu merasa jalan satu-satunya adalah Abimu. Kembali kamu mengikuti jalan setapak menuju rumah muliamu. Rumah yang mengantarkanmu hingga kamu pergi dengan keganjalan. 

“Assalamualaikum”, Kamu mencoba untuk masuk rumah tua itu.

Tampak sepi, sepi sekali. Kemana Umi dan Abi? Itu yang kamu pikirkan, segera kamu menulusuri setiap sudut rumah itu. Hingga kamu menemukan seseorang yang duduk dibelakang rumahmu.
“Budhe ?”, katamu menyapa orang itu.
“Kamu pulang, nak?”, jawab orang itu.
Ganjal lagi, kenapa ada Budhe? Dimana Umi dan Abi?
“Dimana Umi dan Abi?”, tanyamu pada Budhemu.
“Kamu tidak tahu? Budhe kira kamu kesini karena itu. Sehari yang lalu Umi dan Abimu kecelakaan, maka dari itu Budhe disini untuk menjaga rumah ini”, jawab Budhe dan membuatmu menganga.

Kamu lari, lari menuju pemakaman orangtuamu. Kenapa ? Kenapa mereka pergi tanpa sepengetahuanmu? Itu yang ada dalam pikiranmu. Adakah mimpi-mimpi sehari itu memberikan petunjuk atau apa? Sampai di makam orangtuamu, kamu duduk bersipuh dan melihat kedua nisan tersebut.
“Kamu mengerti sekarang. Kamu sudah kembali, kamu tidak perlu belajar dan melakukan banyak penelitian untuk mencari apa yang kamu cari. Semua sudah ada, Tuhan, mukjizat, dan apalah itu. Semua sudah ada di sekitarmu, dari mimpi itu, pikiranmu, segalanya Bi, Mi. Kamu patutnya memintamaaf pada umi dan abimu”, hatimu bicara lagi padamu dan segera kamu meninggalkan makam itu.

Kamu meyakini bahwa hitam dan putih itu tidak cukup. Ada yang menengahi dari kedua itu, abu-abu. Memberikanmu pengetahuan yang lebih dari yang lain. Tanpa harus kamu mencari dan menemukannya. Abu-abu tersebar, tersebar dalam setiap jengkal atom yang ada di sekitarmu. Begitukah yang kamu cari? Terimakasih Tuhan, akan abu-abu yang kau beri.

Salam Pena
Salam Indonesia Bisa
-E-

SBMPTN, Perlu Diubahkah ?

           Beberapa hari yang lalu atau tepatnya17 Juni 2014, Universitas-universitas di Indonesia akan mendapatkan daftar nama keluarga baru mereka. Ya, tidak lain tidak bukan mengenai SNMPTN dan SBMPTN. Memang saya selaku penulis masih duduk di kelas XI atau kelas 2 SMA, satu tahun lagi untuk bisa merasakan kedahsyatan dua hal tersebut. Tapi, entah karena terpengaruh atau bagaimana saya juga ikut merasakan khawatir tentang kelolosan SBMPTN bagi kakak-kakak kelas XII.

source : google.co.id
         Sebelum jauh membahas SNMPTN dan SBMPTN saya akan menjelaskan secara gampangnya apa itu SNMPTN dan SBMPTN. SNMPTN merupakan singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional, dimana biasanya para siswa kelas 3 SMA menyebutnya dengan jalur undangan. Kenapa jalur undangan? tentu saja karena mereka hanya mendaftar dan memenuhi segala persyaratan dan menunggu hasilnya. Sekitar tanggal 25/27 Mei 2014 (maaf saya lupa tepatnya). Siswa-siswi kelas 3 SMA mendapatkan pengumuman tentang hasil lolos SNMPTN, dimana mereka akan mendapatkan free-pass untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Inilah mengapa SNMPTN juga lebih dikenal dengan jalur undangan, karena kasarannya, para siswa seperti diberi undangan untuk masuk ke dalam universitas tersebut tanpa mengikuti tes apapun. Kebanyakan orang menganggap jalur ini merupakan jalur undian, karena faktor keberuntungan sangat berpengaruh besar disini. Ambil contoh kakak kelas saya, si X merupakan siswa yang berprestasi, mempunyai banyak sertifikat, dan banyak pengalaman dalam berorganisasi. Sementarasi Y merupakan siswa yang notabenenya biasa-biasa saja, dan tidak banyak memiliki pengalaman dalam berorganisasi. Dalam mengikuti seleksi SNMPTN ternyata yang lulus si Y, pada kenyataannya si X dan si Y mendaftar pada perguruan tinggi dan fakultas yang sama.
      Selain faktor keberuntungan, faktor PG setiap sekolah juga mempengaruhi. Biasanya, sekolah dengan PG besar di Universitas tersebut, akan mendampatkan peluang yang lebih besar. PG sendiri berasal dari Passing Grade yang merupakan acuan universitas untuk pertimbangan jalur SNMPTN. Banyak faktor lain yang mempengaruhi jalur SNMPTN ini, akan tetapi dua faktor di atas menurut saya adalah faktor yang sangat berpengaruh.

       Beralih ke SBMPTN. SBMPTN sendiri memiliki kepanjangan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional. Biasanya siswa yang tidak lolos SNMPTN akan mengikuti SBMPTN di universitas yang sama ataupun berbeda. Berbeda dengan SNMPTN, siswa yang mengikuti tes ini harus kembali membuka buku dan belajar lagi agar bisa masuk ke universitas yang mereka inginkan. Mulai dari TPA (tes potensi akademik), Matematika dasar, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran sesuai dengan jurusan masing-masing. Biasanya siswa yang mengambil jurusan IPA di SMAnya akan mengerjakan soal SAINTEK (Sains dan Teknologi) dan jurusan IPS mengerjakan soal SOSHUM (Sosial Humaniora). Ada juga yang mengambil jatah IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) dimana siswa ini biasanya memilih jurusan di IPA dan IPS, otomatis juga kerja ganda dalam SBMPTN.
source : google.co.id


       Bukan bermaksud untuk mengkritik atau membandingkan, menurut saya sebagai penulis mengatakan bahwa di Indonesia mayoritas pendidikan itu hanya memperhatikan potensi akademiknya. dan kurang untuk memperhatikan dari segi kepribadian maupun segi non-akademik. 10 teman saya pernah mengikuti seleksi UWC (United World College) dimana setiap negara hanya akan diambil 3 siswa pertahunnya dan akan di sekolahkan di UWC school yang ada di beberapa negara di Eropa dan Amerika. Ketika saya bertanya pada mereka mengenai tes tersebut, pada kenyataannya mereka tidak banyak melakukan tes tulis atau tes akademik. Hal yang mendominasi yang mereka lakukan adalah kegiatan sosial. Mulai dari tes interview, tes psikologi, dan tes lingkungan sosial seperti ke panti asuhan anak dengan keterbelakangan mental.Bisa dilihat bahwa sekolah inipun tidak hanya mengandalkan nilai akademiknya saja, tetapi hasilnya bahkan lebih baik dari sekolah-sekolah di Indonesia yang mengandalkan nilai akademik dari siswanya. Sebagai bukti, banyak siswa di Indonesia yang sekolah di luar negeri berhasil mendapatkan cum laude dengan IP minimal 3,9. Lalu, mengapa di negara sendiri hal tersebut sangat sulit untuk didapatkan?

    Adakah yang salah dari sistemnya? atau dari sumber dayanya? hanya pendapat anda pribadi yag bisa menentukan. Tetapi, menurut uneg-uneg saya, hal yang salah disini adalah tekanan, tekanan dari siswa karena banyaknya kegiatan, tugas yang seambrek, tekanan dari dosen, dan masih banyak lagi. Haruskah ini dibiarkan atau perlu dibenahi? tergantung pada pemimpin bangsa selanjutnya.

Salam Merdeka
Salam Indonesia Bisa