Inheren "Bebas"

              Memahami ketika seseorang mulai mengubah jalur hidupku. Menghempasku dari setiap tapak yang telah kubuat sejak awal. Menghasutku, hingga aku memilih untuk mengikuti setiap belokan baru yang dibuatnya.

             Semua orang bilang bahwa usia 10 tahun adalah masa kebahagiaanmu, 11 hingga 19 tahun adalah masa berjayamu, dan 20 tahun adalah masa normalmu. 3 tahun lagi, aku menuju ke masa normalku, membayangkan beberapa jalan yang akan kubuat, dan aku akan melewati jalan tersebut. Eko. Nama yang tak lagi asing bagi sebagian etnik jawa. Nama yang memiliki kesan biasa bagi siapa saja yang mendengarnya. Inilah aku, orang yang memilih hidup tanpa batasan, memilih untuk merasakan kebebasan dari pada sebuah ketegasan semata. Kebebasan dan ketidakpedulian memiliki perbatasan yang saru.

            Membiarkan segalanya berlalu, menganggap residu kehidupan adalah semu. Menjadikan setiap telatah adalah hal yang lumrah untuk diikuti. Duduk di bangku kelas 2 SMA, memikirkan segalanya adalah semu. Coretan-coretan, tugas, ulangan, guru, bahkan sekolah itu sendiri. Terkadang aku tidak menyukai pada orang-orang yang memaksaku untuk mengetahui segalanya, mengetahui hal yang sebenarnya tidak terlalu mengubah diriku. Karena apa yang ada pada pikiran mereka hanyalah "Sine Qua Non". Segalanya harus ada pada pikiran murid.

           Bukannya aku membenci, tetapi aku hanya tidak menyukai. Dua kata yang menurutku memiliki perbedaan arti yang mendalam. Ketika aku bilang benci, maka aku akan selamanya membenci hal tersebut, berbeda dengan tidak suka. Aku berfikiran bahwa dari kata tidak suka, aku masih memiliki kesempatan untuk menghapus kata tidak pada satu gabungan kalimat tersebut. Dan inilah aku, seorang anak yang masih labil dalam setiap pemikirannya. Mengiyakan dan menidakkan sesuatu dalam hitungan beberapa detik, menggunakan pemikiran bocah dan terkadang lansia dalam segala situasi.

          Ketika aku menghendaki sebuah kebebasan, berjalan pada jalan yang kuukir sendiri, maka laranganlah yang menghadapku. Ini rumit, lebih rumit daripada lukisan bocah balita berusia 2 tahun. Terkadang aku mulai mempercayai pada kata-kata motivator-motivator alay yang mencoba untuk mengubah setiap paradigma setiap orang. Bahwa tekad bisa mengalahkan segalanya. Kebebasan dan ketidakpedulianku mungkin masih bisa kulalui. Kembali menikung jalan yang telah lama kubuat dan kutinggalkan, dan kembali dalam kehidupan yang mungkin masih dianggap tabu oleh setiap orang yang menatap.